Minggu, 26 Agustus 2012

PUTERA SANG FAJAR, SUMBER INSPIRASI NEGERI


Membaca postingan sahabat saya, tentang kegelisahannya atas carut marut di Negeri ini, kekhawatirannya bahwa Negeri ini sudah kehabisan tokoh inspiratif, kegundahannya bahwa Negeri ini sudah kehilangan tokoh teladan, berita tentang pertikaian politik, korupsi merajalela, kinerja kabinet yang terpuruk di 100 hari pertamanya, kasus-kasus hukum yang semakin menambah “bopeng” wajah Negeri ini, mengingatkan saya kepada riwayat hidup seorang lelaki bernama Kusno. 

Kusno, lahir pada tanggal 6 Juni 1901 di Blitar. Ayah Kusno, Raden Sukemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru rendahan, yang saat bertugas di Singaraja, Bali, bertemu dengan seorang perempuan Bali nan ayu, Idayu Nyoman Rai. Dari perut Idayulah Kusno dilahirkan. Perkawinan mereka tak berlangsung mulus pada awalnya, karena ayah Kusno adalah seorang Jawa dan Islam, sedangkan Idayu, wanita Hindu Bali keturunan Brahmana, yang dilarang untuk menikah dengan orang lain diluar kastanya, apalagi diluar agamanya. Kawin lari menjadi solusi untuk menyatukan cinta mereka. 

Ayah Kusno seorang yang tegas dan keras. Ayah Kusno tega membiarkan Kusno belajar mengeja dan menulis sampai berjam-jam. Bila Kusno nakal, ayahnya tak jarang menghukumnya dengan kasar. Kusno kecil pernah mendapatkan pukulan rotan di pantatnya dari sang ayah karena naik pohon jambu dan menjatuhkan sarang burung. Lain ayah, lain sang Ibu. Dari sang Ibu, Kusno belajar kelembutan, belajar mencintai, dan belajar seni. 

Kelembutan Ibunyalah yang mengimbangi tindakan disiplin sang ayah. Ibunyalah yang tahu sejak awal bahwa suatu saat Kusno akan menjadi seorang pemimpin besar. Suatu pagi saat matahari belum terbit, Ibu Kusno terbangun, duduk menatap sang fajar. Terdiam. Kusno, saat itu masih berumur beberapa tahun, ikut terbangun dan mendekati sang Ibu. 

Ibu menarik Kusno ke dalam dadanya dan berbicara lembut. “Engkau sedang memandangi fajar nak. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena Ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi saat fajar mulai menyingsing. Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putera dari sang fajar.” 

Kusno melewatkan masa kecilnya di Mojokerto. Dengan pendapatan ayah Kusno sebagai guru rendahan, Kusno sekeluarga hidup dalam keprihatinan. Ada satu ilustrasi yang cukup menyentuh yang menggambarkan keadaan tersebut. Setiap menjelang lebaran sudah lazimnya anak-anak kecil bermain dengan petasan. Satu saat, dengan hati pilu Kusno mengintip dari lubang udara kecil pada dinding bambu kamarnya. Hatinya hancur, melihat teman-temannya bermain petasan seharga satu sen dengan riang gembira menyambut lebaran, sedangkan Kusno hanya bisa mendengar irama petasan yang indah sekaligus menyayat hati dari bilik kamarnya. 

Kusno menggambarkan betapa dahsyat rasa pilunya saat itu. Dan betapa dahsyatnya rasa kebahagiaan ketika seorang kenalan ayahnya memberi sebuah hadiah berupa petasan. Itulah hadiah terindah yang pernah diterimanya, dan takkan dilupakan Kusno kecil selama-lamanya. Kusno tumbuh menjadi anak yang sakit-sakitan, menderita malaria, disentri, dan hampir semua jenis penyakit. 

Sang ayah mulai merasa bahwa nama Kusno tidak cocok dan harus diganti. Kebetulan Ayah Kusno adalah penggemar cerita kepahlawanan Mahabrata. Tokoh idolanya adalah Karna. Bagi ayah Kusno, Karna adalah pahlawan besar, setia kawan dan setia kepada keyakinannya, pejuang bagi negaranya dan patriot yang saleh. Saat berumur enam tahun, sang Ayah memanggil Kusno dan berkata. “Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Aku selalu berdoa agar engkaupun menjadi seorang patriot dan pahlawan besar bagi rakyatnya. Semoga engkau menjadi Karna kedua”. Dalam bahasa jawa Karna menjelma menjadi Karno, yang diberi awalan Su, yang berarti paling baik. Sehingga Sukarno berarti pahlawan yang terbaik. 

Iya, Kusno yang dari tadi saya bicarakan adalah Sukarno, Presiden Pertama Negeri ini. Orang tuanya sendiri sudah bisa meramalkan sejak awal bahwa Kusno alias Sukarno adalah calon pemimpin besar. Demi untuk mewujudkan cita-citanya agar Karno muda menjadi orang besar, ayah Karno mengirimnya ke Surabaya, untuk bersekolah di Hogere Burger School (HBS), setingkat SMA. Di Surabaya, Sukarno muda dititipkan kepada keluarga H.O.S Cokroaminoto, teman ayahnya. 

Dibandingkan rekan-rekan lainnya, Sukarno muda, 15 tahun, lebih suka melewatkan waktunya di satu-satunya perpustakaan besar di Surabaya. Dengan uang saku pas-pasan, Sukarno muda memang tidak bisa ikut-ikutan gaya hidup teman-temannya di HBS, yang kebanyakan bule atau bumiputera dari kalangan terpandang. Perpustakaan adalah tempat termurah yang ia bisa gunakan untuk melewatkan hari-harinya. Dari perpustakaan itulah Sukarno muda mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Thomas Jefferson, George Washington, Abraham Lincoln, Mazzini, Garibaldi, Karl Marx, Lenin, Aristide Briand, Voltaire, dan tokoh dunia lainnya. Berinduk semang kepada HOS Cokroaminoto, Ketua Sarekat Islam, mempermudah akses bagi Sukarno muda untuk dapat berdiskusi dan berdebat dengan tokoh-tokoh politik dan pemimpin pergerakan pada saat itu. Ia menjadi murid politik kesayangan HOS Cokroaminoto. 

Kehidupan di Surayabaya inilah yang mulai menumbuhkan benih-benih nasionalisme dalam tubuh Sukarno muda. Ia mulai rajin menulis, untuk majalah yang diterbitkan oleh Sarekat Islam, Oetoesan Hindia. Tulisan-tulisannya ditulis dengan nama samaran, dengan alasan keamanan, karena berisi propaganda untuk merobohkan Pemerintahan Hindia Belanda. Ada lebih dari 500 tulisannya. Bakat alamiahnya, berpidato, juga semakin terasah ketika ia harus menggantikan Pak Cokro untuk mempimpin rapat-rapat kebangsaaan. Pada umur 16 tahun, ia sudah berani mendirikan organisasi sosial para pelajar bernama “Jong Java”. 

Benih-benih nasionalisme makin tumbuh subur dalam tubuh Sukarno saat dia mengalami diskriminasi di sekolahnya. Perbedaan perlakuan antara murid-murid Belanda dan murid-murid bumiputera menimbulkan dendam kesumat dalam jiwa Sukarno. Amarah itu mencapai puncaknya ketika Ia diusir oleh Meneer Hessels, seorang Belanda, saat Karno berniat melamar puterinya, Mien Hessels. Bagi Sukarno muda, mengawini seorang noni Belanda merupakan satu-satunya jalan yang ia ketahui untuk mengungguli bangsa kulit putih dan membikin mereka tunduk kepada kemauannya. Niatnya ini tak kesampaian. 

Guna meneruskan niatnya mengungguli bangsa kulit putih, Sukarno bertekad untuk melanjutkan sekolah tinggi ke Belanda. Sayang niatnya ini ditentang ibunya sendiri. Selain masalah biaya, bagi sang Ibu, Sukarno harus tetap bersekolah dan tinggal di sini, di antara bangsanya sendiri, karena tempatnya, nasibnya dan pusakanya adalah di kepulauan Nusantara ini. Karena itulah akhirnya Sukarno mendaftarkan diri ke Sekolah Teknik Tinggi di Bandung (sekarang ITB). Di Bandung, kemampuan politik Sukarno makin terasah. Desakan jiwa untuk menciptakan Indonesia yang merdeka semakin menguat. Ia kemudian mendirikan Partai Nasional Indonesia pada tahun 1927, dengan satu tujuan, Indonesia Merdeka. Bagi teman-teman perjuangannya, tindakan Sukarno ini termasuk radikal, sementara organisasi-organisasi lain masih melakukan gerakan bawah tanah untuk menghindari pembrangusan dari Pemerintah Hindia Belanda. 

Dengan PNI-nya Sukarno berpropaganda ke seluruh penjuru Negeri. Berpidato ke pelosok-pelosok kampung sekedar untuk menyadarkan anak bangsa untuk segera bangun dari tidurnya. Untuk segera merebut kemerdekaan ini dari bangsa kulit putih. Sejak saat itu Sukarno menjadi incaran polisi-polisi Belanda. Berkali-kali keluar masuk penjara, berkali-kali mengalami pembuangan, berkali-kali mengalami pengasingan, dijauhkan dari segala akses ke dunia keluar, tidak menyurutkan hasrat Sukarno. Setiap keluar dari tahanan, penjara atau pembuangan, ia bukannya membungkam, malah makin berkobar, makin berapi-api untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Negeri ini. Bagaimanapun Sukarno tetap manusia (luar) biasa, ada sisi baik, ada juga sisi kelamnya. Pers barat selalu membesar-besarkan sisi negatif dari seorang Sukarno saat dia menjadi Presiden. 

Kedekatannya dengan tokoh-tokoh dari blok timur membuat Sukarno dicap sebagai “komunis”. Kegemarannya berganti-ganti istri dan berpoligami, membuatnya digelari majalah Time sebagai “Le Grand Seducteur”, atau Perayu Ulung. Dalam otobiografinya Sukarno menamakannya dirinya sebagai seorang maha pecinta. Ia mencintai negerinya, mencintai rakyatnya, mencinta seni, mencintai wanita karena keindahannya. 

Sukarno bukanlah manusia yang “jaim”. Pernah dikisahkan suatu saat ketika di pesawat dalam perjalanan ke luar negeri ia terbangun karena kedinginan. Dilihatnya penumpang lain juga tertidur kedinginan. Karena tidak mau mengganggu pramugara yang sedang enak tidur, Sukarno bangun dari kursinya dan menyelimuti satu per satu para penumpang yang tertidur. Seorang perempuan bule terperanjat kaget ketika mendapati dirinya sedang diselimuti oleh seorang Presiden Republik Indonesia. Sukarno juga sering berusaha untuk mendekatkan dirinya dengan rakyat. 

Sejak menjadi Presiden ia merasa makin jauh dnegan rakyat karena aturan protokoler. Sering Sukarno menyamar agar tak mudah dikenali. Ia memakai mobil tanpa tanda pengenal, memaki kacamata berbingkai tanduk. Ia bisa dengan santai menyetop penjual sate ayam dan makan dipinggir trotoar. Hanya ada satu pantangan agar samarannya tak terbongkar. Ia harus membungkam mulutnya. 

Pernah suatu kali saat sedang menyamar di suatu daerah di Senen, melihat pembangunan gudang kereta api, Sukarno bertanya kepada seorang laki-laki “Dari mana diambil batu bata ini dan bahan konstruksi yang sudah dipancangkan ini?”. Belum sempat mendengar jawaban, seorang perempuan yang ada di sekitar situ lantas berteriak…”Itu suara Bapak, ya suara Bapak. Heeei, orang-orang…ini Bapak.” Dalam beberapa detik ratusan orang berlari-lari mengerubungi Sukarno. Dengan cepat ajudan membawa Sukarno masuk ke dalam mobil kecil dan menghilang. Ya, suara Sukarno memang mudah dikenali. Apalagi beliau terkenal dengan kepiawaiannya berpidato. Orang tua saya pernah bercerita mereka dulu betah duduk berlama-lama mendengarkan siaran radio yang menyiarkan pidato Sukarno. Sukarno memang “Singa Podium”. Orator ulung. 

Sukarno tidak mudah didikte dan mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Ketika Amerika menawarkan bantuan dengan harapan agar Sukarno menghentikan hubungannya dengan pihak Rusia dan Cina, Sukarno dengan garang berkata kasar kepada Duta Besar Amerika pada saat itu, “Go to hell with your aid”. Persetan dengan bantuanmu. Sukarno dengan berani keluar dari keanggotaan PBB saat merasa bahwa PBB bukan lagi menjadi organisasi dunia yang tepat untuk menciptakan perdamaian. Bagi Sukarno PBB saat itu adalah organisasi yang bias, dimana Amerika menjadi pengendalinya. 

Terlepas dari segala kekurangannya, karena walau bagaimanapun ia adalah manusia juga, bagi saya beliau adalah salah satu inspirator sejati bagi Negeri ini. Tanpa pemikiran-pemikirannya yang progresif (padahal ia tak pernah kesampaian untuk mencicipi pendidikan di luar negeri), belum tentu Indonesia bisa merdeka pada tahun 1945. Tidak harus menjadi seperti seorang Sukarno untuk menjadi inspirator bagi Negeri ini. 

Seperti sahabat saya bilang, tulisan seorang blogger yang bisa memberi inspirasi yang positif bagi seorang pembacanya bisa menjadi langkah awal untuk menjadi seorang teladan. So, mari menjadi blogger teladan dan memberi inspirasi. Be an inspiring blogger. 

Buat sahabatku, , jangan khawatir dan gundah. Selama masih memakai hati nurani, Indonesia masih akan tetap memiliki tokoh inspirasi dan tokoh teladan. Dibalik segala carut-marut Negeri ini, mungkin ada hikmah yang selalu bisa diambil. Masih akan ada Sukarno-Sukarno berikutnya yang akan tetap berjuang untuk mengharumkan Negeri ini, dalam berbagai cara.

NB: Disarikan dari buku “Sukarno, An Autobiography As Told To Cindy Adams”.