Kamis, 12 Juli 2012



HUKUM ALAM


Adanya hukum alam (natural law) diacu untuk hukum budaya (cultural law) ataupun hukum peradaban (civilization law) untuk tetap berada pada hukum ke-Tuhanan (lex suprema dei),termasuk salah satunya adalah hukum agama (religusitas),yang dapat saja bukan berarti dapat dikatakan hukum manusia (human law),hukum alam dan bahkan bukan hukum Tuhan itu sendiri karena adanya suatu hukum tak berarti bahwa hukum tersebut sepenuhnya mengacu pada hukum Tuhan sebagai sebuah kebebasan dari kehendak diriNya,dalam dinamika perkembangan masyarakat,secara definitif (in definitum) apa yang disebut dengan kejahatan (kriminalitas) dalam perspektif filsafat kriminal (criminal philosophy) adalah sebuah kehendak (niat) baik disadari ataupun tidak disadari ada pada sebuah motif (motive) ataupun tindakan (n’ach) yang dapat dianggap oleh eksistensi yang lain (alter ego) ataupun dirinya sendiri (selbs) sebagai sebuah negativitas dengan segala kenisbian (relativitas) dari sebuah kontrak sosial (social contract) yang dapat memberikan anggapan awali (presumsi) adanya sebuah penyimpangan (perverse) yang mengganggu hubungan harmoni antara manusia,alam dan Tuhan sebagai suatu lahan negativitas atas sebuah keberadaan apapun.

Adapun apa yang dimaksud dengan negativitas (kisi negatif) adalah tak hanya menyangkut nilai (value) yang ada pada hukum manapun semata,namun juga makna dari adanya niat (kehendak) dari subjek yang tak hanya menyangkut sebuah perilaku atau tindakan (handeling) namun seluruh kegiatan indrawiah fungsionalitas manusia pada umumnya yang menyangkut aspek kebenaran (bonum) )atau kesalahan (malum) dalam nilai keutamaan (hukum) serta menyangkut keburukan (evil) serta kebaikan (good) dalam makna kepantasan (norma),keduanya yaitu kepantasan dan keutamaan diacu tak hanya oleh hukum pemerintahan (govermental law) ataupun hukum masyarakat (social law),namun juga adalah hukum yang ada pada sebuah negara (state law) yang tak lepas dari nilai serta makna (meaning) dari alam dan manusia bagi suatu fungsionalitas ke-Tuhanan (religiusitas).

Bahwa setiap segala sesuatu tak lepas dari hukum Tuhan (kehendak),hukum alam (kodrat) dan juga hukum manusia (takdir),dan bahwa sesuatu dianggap kejahatan (kriminalitas) ketika suatu naturalitas,kebudayaan dan struktur yang ada memberikan legitimasi (legitimate) atas adanya penyebab (causa) ataupun akibat dari sebuah aktivitas disharmoni antara hubungan atas ketiganya,terutama karena adanya subjek eksistensial yang melakukan penyimpangan (subverse) atas salah satu hukum (law) yang menyangkut ketiganya,keduanya ataupun salah satu diantaranya sehingga hal tersebut tak hanya memberikan dampak (sanksi) bagi manusia semata,namun juga alam serta Tuhan (prima esse) sebagai Pencipta adanya hukum awal dari kebebasan diriNya dalam berkehendak untuk memberikan kebebasan yang sama (equal freedom) pada manusia untuk memaknai dan menilai setiap apa yang pantas (kepantasan) ataupun utama (keutamaan) dalam menciptakan,memelihara ataupun menghancurkan hubungan Tuhan dengan alam serta hubungan antar manusia itu sendiri,terutama sebagai subjek yang mengantarai hubungan alam serta Tuhan pada sebuah negara (state) ataupun suatu masyarakat (society) dan hukum (law) ataupun norma (mores) sebagai representasi hukum Tuhan pada alam dan hukum manusia pada aras keduniaan (l’monde).

Dalam sudut pandang filsafat kriminal (criminal philosophy),apa yang disebut sebuah kejahatan (criminality) adalah bahwa apabila kebebasan apapun (freedom) bersinggungan dengan moralitas dan nurani serta etika yang menjadi titik temu (intermediasi) atas berbagai kategorisasi berbagai ragam hukum yang ada dimana hukum manapun mestinya tetap senantiasa mengacu pada ketiganya sebagai sebuah landasan struktural (berjenjang) dalam memahami kepatutan (kepantasan) dan kepatuhan (keutamaan) manusia dalam menyadari dirinya sebagai mahluk hukum (subjek hukum) yang tak lepas dari keterkaitan (determinitas) dari sebuah sistem hukum pada suatu kondisi struktural yang terciptakan karena sebuah kehendak (niat) awali Tuhan,kehendak Tuhan adalah hukum Tuhan atas segala apa yang senantiasa diciptakan oleh kebebasan (nibbana) yang ada pada diriNya sebagai sebuah kekuasaan yang telak (absolude power) atas segala apapun yang terciptakan oleh kehendak diriNya,Tuhan dan hukum Tuhan (God laws) adalah sebuah kuasa otoritas (kompetensi) yang berkebebasan dalam keabadian (perenialitas) absoluditasNya yang agung dalam menciptakan berbagai hukum yang ada setelahnya dengan berbagai nilai,makna serta fungsi (function) yang ada pada hukum yang mengacu padaNya dan menjadi bagian dari sebuah struktur dari suatu bagian kuasa hukum ke-Tuhanan.

Masyarakat adalah sub-materi dari kajian ilmu pengetahuan dalam sosiologi,kondisi masyarakat kekinian dan yang akan datang dibahas dalam sosiologi yang sama sekali berbeda dengan antropologi yang lebih menitikberatkan kajian materi pada masyarakat sebelum sekarang,masyarakat sebelum sekarang dipelajari melalui kebudayaan (arche) yang ada pada masyarakat tersebut dan juga masyarakat kekinian,sedangkan masyarakat yang akan datang dipelajari melalui peradaban (tecne) yang ada pada masyarakat kekinian yang tak lepas pada suatu ruang antara (distingsi) dari apa sebagaimana yang pernah diungkapkan Martin Heidegger,adalah ruang (sein) dan waktu (zeit) yang ada pada sejarah lampau,kini ataupun juga nanti yang juga akan menjadi sejarah dimana peradaban menjadi usang (lapuk) serta menjadi kebudayaan (culture) sementara dinamika masyarakat berjalan terus bersama peradaban (civillization),dan sekaligus sebagai sebuah kondisi dari sebuah masyarakat dan terlebih manusia yang juga adalah merupakan individu,mahluk budaya,mahluk peradaban serta mahluk sosial yang tak lepas dari filsafat (philosophia) dan kejahatan (criminalitas) dalam kehidupan dirinya dan dunianya (lebenswelt),maka adanya kajian mengenai sosiologi kejahatan (sociology of crime) lemudian menitikberatkan pada korespondensi (causaliteit) antara kejahatan (criminality) dengan masyarakat atau sebaliknya masyarakat (society) dengan kejahatan sebagai sebuah hubungan sebab-akibat.

Bahwa dimana ada manusia disana ada kejahatan adalah sama dan sebangun kalimat dengan dimana ada masyarakat disana kejahatan (kriminalitas) ada karena manusia sebagai individu tak lepas dari sebuah masyarakat dengan segala kemungkinan negatif (negativa probabilia) dari sebuah perspektif penilaian (aksiologi) atau pemaknaan (hermenetika) dari masyarakat atas berbagai tindakan sosial (social behavior),yang salah satunya adalah kejahatan (evil) dimana hukum Tuhan ada bagi hukum yang lain yang ada di bawahnya sebagaimana juga sanksi sebagai suatu akibat dari sebuah kehendak (will) ataupun niat,dengan mengkaitkan apa yang diungkapkan oleh seorang pakar sosiologi Amerika,George Ritzer mengenai pandangan kontruksi sosial ganda (multiparadigmatik) dalam sosiologi menyangkut adanya kemungkinan seseorang (yang liyan) dalam melakukan sebuah kejahatan,maka kemudian dapat diacu dengan perspektif moralitas dari Adam Smith bahwa melihat kepantasan (kepatutan) sebagai sebuah realitas (das sein) tak lepas dari masyarakat dan individu,sedangkan keutamaan sebagai sebuah harapan (das sollen) yang ada pada diri individu (organisme) dan masyarakat (organ) adalah sebagai sebuah keseimbangan (harmonium).

Dengan kata lain apa yang menjadi harapan individu (hope) adalah juga semestinya menjadi harapan dari sebuah masyarakat,namun hal ini cukup sulit untuk diraih dalam kondisi yang cenderung antinomi (anomial),dimana sebuah kondisi yang dapat juga dikatakan sebagai sebuah kondisi disaat individu dan masyarakat sama-sama mengalami sebuah krisis legitimasi (legitimation of crisis) dimana hukum masyarakat (norm) dan hukum pemerintahan (recht) diletakkan secara tiada berimbang (tak proporsional) dalam sebuah hukum negara (staatrecth),apa yang merupakan kenyataan masyarakat semestinya juga adalah kenyataan sosial (social reality) yang ada pada sebuah masyarakat bahwa hal yang pantas menjadi hal yang utama sebagaimana hal yang utama menjadi hal yang pantas (patut) sebagai sebuah equilibriasi (harmoni) dalam pemenuhan harapan (utopianitas) ataupun sebuah kenyataan (ideologial),yang mana dalam kontruksi Freudian hal ini kemudian terkait pada sebuah prinsip kenyataan (principe of reality) serta prinsip kenikmatan (pleasure principe) tak hanya bagi individu,namun juga bagi sebuah masyarakat dimana manusia distatuskan pada kondisi dirinya sebagai mahluk individual atau juga adalah sebagai mahluk sosial dalam sebuah kompromi sosial (kontrak sosial) yang melahirkan adanya kesesuaian (kelarasan) antara hukum pemerintahan (govermental state) dengan hukum masyarakat (social norm) dalam membentuk sebuah negara melalui hukum negara. (state law)

Dan bahwa setiap apapun yang menyangkut ketidakseimbangan antara harapan dan kenyataan baik yang ada pada ranah individu ataupun ranah sosial,kerap akan berakibat kekecewaan yang kemudian menjadi cikal (ontos) dari adanya pelanggaran hukum (onrechtmatig),terutama adalah sebuah kejahatan (dad),kejaharan kemudian dapat dikatakan muncul dari adanya suasana (stimmung) atau kondisi yang disharmoni (anomia) dan karena adanya sebuah kondisi manusia (human condition) ketika kebanyakan manusia mengalami sebuah krisis legitimasi,terutama ketika dihadapkan pada konsep legitimasi dari kaum Weberian,yaitu legitimasi sosial (social legitimation),legitimasi politik (legitimation of politic) serta legitimasi hukum (legitimation of law) serta adanya sebuah kekuasaan (power) dari sebuah kharisma legitimatif (legitimasi kharismatik) baik dalam pemerintahan,masyarakat ataupun juga adalah sebuah negara (staat),kondisi anomi atau krisis legitimasi juga muncul ketika sebuah masyarakat dihadapkan pada sebuah kekuatan hegemoni dari sebuah struktur pemerintahan ataupun sebuah struktur yang ada pada sebuah masyarakat,dimana kemudian negara (state) dihadapkan pada sebuah tugas keadilan yang distribusional tanpa melakukan hegemoni atas keduanya melalui penerapan (aplikasi) aturan hukum negara yang diadaptasikan dari hukum pemerintahan dan masyarakat pada sebuah strukturalitas sistemik yang ada pada ketiganya.

Kejahatan dalam suatu masyarakat (kriminalitas sosial),secara sosiologis timbul karena sebuah kekecewaaan dari sebuah kondisi antinomi (anomi) yang menyebabkan adanya sebuah krisis legitimasi karena kepincangan (ressentiment) antara apa yang menjadi kenyataan (reality) dengan apa yang menjadi sebuah harapan (hope),terutama ketika individu dan masyarakat menjadi sebuah kesatuan yang integral (totalitas) dimana kenikmatan (pleasure) dan kenyataan (reality) adalah sebuah motif dan sekaligus tujuan yang menyatu dalam sebuah negara yang sarat dengan idelogi (sein) dan utopianitas (sollen) yang ada,hal ini tak hanya dalam sebuah pemerintahan semata,namun juga adalah pada sebuah masyarakat yang terkait pada keduanya dalam,seperti yang dikatakan Antonio Gramschi sebagai satu kesatuan,yaitu masyarakat (society),pemerintahan (goverment) dan negara (state),negara kemudian mesti memposisikan individu sederajat (equal) dengan warga negara (citizen),sebagaimana masyarakat adalah sebuah kesetaraan (kesederajatan) dengan pemerintahan,namun hal ini bukan sesuatu yang dapat ajeg (absolud) begitu saja bilamana mahluk sosial dan mahluk individu dalam sebuah kerangka pemerintahan dan masyarakat dalam sebuah negara dihadapkan pada perbedaan yang unik menyangkut hak individu serta warga negara sebagai sebuah kesamaan hak asasi.

Kemudian kejahatan dan pelanggaran hukum mesti dihadapkan pada apa yang dinamakan sebagai sebuah hak mendasar yang asasi (human right),hingga kemudian hukum negara dihadapkan kembali pada krisis legitimasi berikut ketika pemerintahan dan masyarakat telah memberikan legitimasi atas negara dalam sebuah pembagian kekuasaan struktural (distribution of labour),negara dan hukum negara (staat recth) kemudian dihadapkan pada hukum internasional (international law) dan globalisasi (postmodernity) yang berkaitan dengan kepentingan politik dan ekonomi ketimbang harmoni sosial antar negara dengan pemerintahan yang ada,individu,warga negara,pemerintahan dan masyarakat serta negara dihadapkan pada sebuah narasi besar (grand narrative) yang berkaitan dengan hak asasi manusia dengan beragam keunikan (ideosinkretisitas) yang ada pada dirinya,sementara tak ada hukum atau norma manapun yang dapat mencapai keunikan manusia selain justru apa yang merupakan bukan hukum,namun menjadi sumber bagi adanya hukum yang berkaitan dengan moralitas manusia,hati nurani serta ruang etika yang ada sebelumnya pada sejarah dan kebudayaan (arche) dimana hukum alam (noumenalitas) mendominasi kehidupan manusia ketimbang segala fenomena yang ada pada peradaban kekinian dan nanti.

Bahwa hukum senantiasa ada karena hukum sebelumnya demikian juga akibat dan sanksi atas hukum,namun naluri manusia (human instink) kemudian memungkinan manusia untuk mencari ruang lengah (horror vakui) dalam melakukan sebuah kejahatan yang ada di luar koridor dari yang ada pada sejarah dan hukum,manusia sebagai subjek hukum dan hukum lalu dihadapkan pada ketertinggalan dirinya atas sebuah perkembangan dinamika kejahatan (criminal dinamic) dimana krisis legitimasi dan anomi kembali terjadi lagi sebagai sebuah sirkulasi yang senantiasa bergulir maju,dengan demikian dapat dikatakan bahwa kejahatan dan juga pelanggaran hukum terjadi karena adanya ketidakseimbangan (anomi) yang diikuti oleh sebuah krisis legitimasi yang ada pada sebuah pemerintahan ataupun juga dalam sebuah masyarakat anomi (naif) yang diikuti anomi lain menimbulkan sebuah dialektika krisis legitimasi (legitimation of crisis) yang menumpuk yang memungkinkan kejahatan (dad) menjadi bukan sebuah pelanggaran hukum (onrecthmatig) apalagi ketika hukum dan sanksi tak ada sementara tingkat kejahatan semakin tinggi dan sekaligus semakin maju dalam puspa ragam yang dinamis dan semakin jauh dari hukum alam dan esensialitas manusiawi (culture) yang menyangkut kodrat,takdir serta nasib dari sebuah humanitas (kemanusiaan) dalam ranah manapun (medan),termasuk manusia dalam percepatan peradaban dan teknologi (techne) yang salah satunya adalah berbagai spasi kemayaan (virtual space) sebagai sebuah lahan bagi komoditi dan konsumerisme.

1.Hukum Mikro

Keberadaan individu adalah unsur (factor) pembentuk dari adanya sebuah masyarakat (socious),sebelum adanya sebuah masyarakat,adanya keluarga dan kelompok sosial (social group) adalah aras lain yang menjadikan individu (otoritas) menjadi awal dari adanya sebuah masyarakat,dengan kata lain adanya individu,keluarga (marga) serta kelompok sosial adalah unsur yang menjadikan adanya sebuah masyarakat,adanya individu,keluarga (fam) dan kelompok sosial (pranata) adalah sebuah sistem sosial (social system) yang kerap kali juga disebut dengan sistem masyarakat,individu adalah unsur terkecil (atomic) dari sebuah masyarakat sebagai ruang lingkup besar (holistic) dari kumpulan individu (komunitas),keluarga ataupun juga adalah kelompok sosial,individu,keluarga dan kelompok sosial tak lepas dari adanya bagian kecil dari sebuah masyarakat yang disebut dengan individu (micro society),hukum individu (hukum mikro) menyangkut aspek internalitas (kebatinan) yang ada pada manusia dengan segala sisi imperatif yang ada pada dirinya,ketika hukum dianggap sebagai nilai yang dibatinkan (internal value),hukum kemudian terkait dengan keunikan manusia (ideosinkretisitas) yang menyangkut segala latar belakang sejarah (historical setback) yang ada pada dirinya yang senantiasa dihadapkan pada perkembangan sosial (social dinamic) yang terkait dengan rotasi hukum alam (samsara) dan sebuah Kehendak (Cetana) pada hukum Tuhan.

Hukum individu (hukum privat) adalah sebuah ideosinkretisitas (keunikan) yang mana sejarah yang ada pada seorang individu kemudian menjadi latar belakang dari adanya hukum individual dengan segala imperativitas (pemerintahan) yang ada pada dirinya sebagai individu (otoritas),dengan kata lain,secara garis besar dapat disebutkan bahwa hukum individual (ius atomos) adalah hukum mikro (atomic) yang mendasari adanya sebuah masyarakat (makro),termasuk ruang lingkup hukum yang terbesar dari adanya suatu hukum dalam sebuah masyarakat (mores),individu dengan segala keunikan yang ada pada dirinya menghasilkan hukum yang juga memiliki kadar keunikan dalam dirinya,adanya sejarah pada manusia (historisity) menjadikan individu dihadapkan tak hanya pada ranah empiris (experience),namun juga dihadapkan pada ranah metodik,ketika manusia sebagai “homo intelectual” dihadapkan pada pengetahuan (culture),maka tak dapat dipungkiri terdapatnya sisi lain dari manusia sebagai sebuah bentuk perimbangan (sinkronisitas) atas manusia sebagai “homo intelectual”,yaitu,sebagaimana dikatakan Pierree Bourdieu sebagai “homo academicus” dimana manusia menekankan ilmu (civillization) sebagai landasan laku (polah) hukum pada dirinya dan peradaban manusia (techne) yang tak lepas dari kebudayaan (arche).

Maka dapat dikatakan kemudian,bahwa manusia tak lepas dari pengetahuan (empirisitas),adalah manusia dengan keberadaan nurani (geweten) yang ada pada dirinya sebagai sebuah intrumen (modal) bagi penempatan dirinya sebagai mahluk hukum (homo yuridis),adanya perkembangan kebudayaan menjadi peradaban (cultural shift),kemudian memposisikan ilmu sebagai suatu kondisi paradigmatik (contruction) bagi manusia dalam merumuskan dan memutuskan segala sesuatu menyangkut aktivitas dirinya yang berketegasan dan berkeputusan melalui adanya moralitas,manusia baik sebagai mahluk intelektual (homo intelectual) ataupun sebagai mahluk akademial (homo academicus) kemudian menjadikan keduanya sebagai dasar bagi adanya awal pembentukan hukum individual pada dirinya (privat norm),yang menyangkut apa yang mengutama (virtu) dan apa yang pantas pada dirinya (bonta),hingga kemudian nurani yang terciptakan dari kebebasan (freedom) dipertemukan dengan moralitas (moraliteit) yang adalah merupakan produk dari iman manusia (faith) pada Tuhan (YHWH) sebagai suatu ranah etika eksistensialitas pada dirinya (sittlicheit) dalam keunikan hubungan dirinya dengan ilmu (savoir) ataupun pengetahuan (connasissance) dalam medan budaya (cultural domain) dan peradaban,moralitas dan nurani kemudian menjadi etika (ethic),tiga aspek (factor) yang menjadikan adanya hukum mikro (individual) pada diri manusia (selb) sebagai mahluk hukum (homo yuridis) yang memiliki kebebasan (pengetahuan) ataupun iman pada diriNya (ilmu) dalam membentuk adanya masyarakat (society) dan hukum dalam sebuah masyarakat (habitus),terutama sebagai lahan bagi kebiasaan adaptasi manusia yang diawali dari adanya hukum ke-Tuhanan.

2.Hukum Makro

Dalam sosiologi terutama adalah sosiologi hukum,keberadaan dari sebuah masyarakat merupakan hal terbesar yang menjadi kajian dalam disiplin ilmu pengetahuan sosiologi,sosiologi makro mengkaji sebuah masyarakat (socious) sebagai sebuah bagian (subtitute) dari sebuah realitas (objek) dari manusia kebanyakan (das man),Emile Durkheim mengkaji sebuah masyarakat (kolektivitas) sebagai sebuah kajian dari makro sosiologi,individu sebagai bagain terkecil (mikro) dari sebuah masyarakat,yang mana masyarakat tak lepas dari sebuah sistem sosial (social system) yang struktural yang menjadikan masyarakat ada pada sebuah struktur yang terbentuk pada awalnya secara alamiah,sistem terbesar (makro) yang terbentuk dari adanya struktur yang diawali adanya individu adalah sebuah masyarakat,yang terdiri dari keluarga,kelompok sosial (group)hingga kemudian sebuah masyarakat,yang kemudian menjadi awal dari adanya penempatan hukum individu dalam ruang keluarga (domestic space) atauppun dalam sebuah kelompok sosial (community) hingga sebuah sistem masyarakat terbentuk dari keberadaan dari mulai adanya individu sebagai struktur awaliah hingga adanya masyarakat (kolektivitas).

Masyarakat (sistem norma) adalah awal dari adanya sebuah pemerintahan (struktur hukum) yang kemudian menjadi sebuah negara,dimana peran individu yang tak hanya terikat pada norma individu namun norma sosial dari keluarga (familiarity) ataupun dari kelompok sosial (pranata) menjadi pada dalam sebuah norma sosial masyarakat dalam ruang lingkup (scope) yang lebih luas dimana norma kemudian tak hanya disepakati dalam sebuah legitimasi sosial (social legitimation) namun juga mendapat penegasan secara turun-temurun (genealogis) dalam suatu sejarah dari adanya sebuah masyarakat yang tiada lepas dari peran individu (manusia) yang kemudian menjadi warga negara (citizen) dalam sebuah pemerintahan yang menjadikan adanya negara yang diawali dari adanya masyarakat serta norma sosial yang ada pada sebuah masyarakat sebagai bagian dari sebuah sumber hukum,baik dalam pemerintahan (institusi politik) maupun dalam sebuah negara.

Keberadaan hukum (habitus) dalam ruang lingkup besar (makro),mencakup hukum yang berlaku dalam sebuah masyarakat,pemerintahan atau sebuah negara,dimana peran individu (agent),aparat negara (aparatus) dan warga negara dihadapkan pada keseimbangan hubungan struktural antara berbagai aspek sosiologi dengan aspek politik yang mencakup masyarakat (norma) dengan pemerintahan (hukum) yang kemudian menjadikan adanya berbagai sistem undang-undang dalam sebuah negara dengan berbagai otoritas (competence) ataupun kedaulatan (souvereignity) yang ada pada pemerintahan,masyarakat ataupun negara (staat) itu sendiri dengan berbagai ragam ataupun bentuk (form) yang ada dalam sejarah adanya sebuah masyarakat (society),pemerintahan (government) ataupun negara (state) dalam kaitan ketiganya atas norma (mores),hukum (ius) dan undang-undang (lex) yang menciptakan hubungan harmoni (equilibirial) antara sistem yang ada dengan struktur yang ada sebagai bagian dari kehidupan kebudayaan (arche) dan peradaban manusia (techne).

Manusia dan eksistensi dirinya (adat) baik sebagai mahluk sosial (homo socious) ataupun mahluk politik (homo politicon) tak lepas dari individulitas manusia dengan sesamanya (en soi),dimana manusia dihadapkan pada konflik (polemik) ataupun harmoni (dialog) dalam adaptasi dan perkembangan dirinya bersama ruang (temphus) ataupun waktu (templum) yang berkesejarahan dalam rotasi dinamika hukum alam (samsara) dimana manusia dalam adaptasi dirinya dengan alam menjadikan adanya masyarakat (norma) sebagai awal dari adanya sebuah negara (hukum),yang tak lepas dari kenyataan (objektivitas) ataupun harapan (subjektivitas) yang ada pada individu dengan masyarakat,dimana kemudian manusia tak hanya dikondisikan sebagai mahluk individual ataupun mahluk sosial,namun adalah juga mahluk politik dan mahluk hukum (homo iuris) dalam sistem sosial (ranah sosial) dan struktur politik (medan politik) yang ada dalam kehidupan budaya (connaissance) dan peradaban (savoir) manusia umum,dimana moralitas,nurani dan etika (sittilcheit) kemudian menjadi sumber (mater) dari adanya norma (mores) ataupun undang-undang (wet) sebagai hukum (habitus) dalam berbagai aras harmoni ataupun konflik antara manusia atas keunikan Tuhan,alam dan sesama,selain dirinya sebagai manusia.

3.Hukum Subjektif

Individu adalah merupakan suatu kenyataan sosial (social reality) yang ada pada sebuah masyarakat,individu adalah merupakan aspek terkecil (mikro) yang ada pada sebuah masyarakat sebagai bagian terbesar (holistic) yang merupakan sekumpulan individu,keluarga ataupun suatu kelompok sosial,pada umumnya dalam diri setiap individu,yang adalah merupakan pembentuk dari adanya suatu masyarakat dan bagian besar (makro) dari keberadaan individu sebagai mahluk sosial,senantiasa memiliki suatu kenyataan diri bahwa dirinya adalah juga mahluk individu yang tak hanya sebatas adalah suatu kenyatan sosial dan individual namun juga adalah sebuah harapan bahwa individu tak lepas dari kebutuhan atas individualitas yang ada pada dirinya sendiri sebagai manusia,bahwa setiap individu memiliki sebuah harapan (utopianisme) adalah merupakan sebuah ruang kenyatan (objektivikasi),namun harapan itu sendiri adalah sebuah kaidah subjektif yang dimiliki manusia baik sebagai mahluk individual ataupun sebagai mahluk sosial,harapan individu sebagai mahluk individu adalah sebuah kisi subjektivitas kecil (mikro subjektif),meskipun sebuah masyarakat dalam interaksinya dihadapkan pada ruang (space) ataupun waktu (time) untuk tetap (komunitas) ataupun tidak tetap (gerombolan).

Artinya seorang individu yang adalah merupakan pembentuk terkecil dari adanya suatu masyarakat adalah juga manusia yang tak lepas dari harapan yang ada pada dirinya sendiri dalam memenuhi setiap kebutuhan yang ada pada individualitas dirinya (human needs),subjektivitas individu adalah harapan yang ada diri manusia sebagai mahluk individual,bahwa setiap individu memiliki orientasi atas pemenuhan kebutuhan dirinya di masa kini (present) atau nanti (future) adalah sebuah realitas (objektivitas) bahwa individu memilki subjektivitas (harapan) selain kenyatan yang ada pada individualitas dirinya bahwa dirinya selain adalah mahluk individual adalah juga merupakan mahluk sosial yang tak lepas dari kenyatan keberadaan dirinya dengan masyarakat namun juga harapan yang ada pada dirinya sendiri (individual hope) serta harapan yang ada dalam masyarakatnya,setiap individu (self) ataupun setiap masyarakat yang tak lepas dari adanya keluarga ataupun kelompok sosial sebagai sebuah sistem struktural (structural system) tak lepas dari kenyataan (das sein) ataupun harapan (das sollen) yang membentuk adanya sistem ilmu (peradaban) ataupun pengetahuan manusia (kebudayaan) yang tak lepas dari ideologi (arche) ataupun utopianitas (techne) yang ada pada setiap lapisan (aras) ataupun ruang lingkup kemanusiaan (human scope) dalam setiap kehidupan dirinya dengan yang liyan (others).

Keberadaan individu (individual existence) baik sebagai mahluk sosial ataupun mahluk individual memiliki ego (keakuan) yang tak lepas dari ego subjektif dan ego objektif,yang merupakan kenyataan dan harapan individu dan masyarakat dimana manusia sebagai mahluk sosial dan mahluk individual terbentuk dari adanya ego sosial (ego macroscopic) dan ego individual (ego microscopic) yang ada pada dirinya sendiri sebagai manusia (self),hal ini disebut oleh Jean Paul Sartre sebagai “being it self” ataupun “being out self”,dimana hukum menjadi hal imperatif (sign) bagi keberadaan individu dan masyarakat contract) atau kesepakatan (commitment) setiap bagian dari sebuah masyarakat,termasuk sejarah yang ada pada sebuah masyarakat yang menjadikan adanya individu dalam ruang lingkup sebuah masyarakat (social sphere) yang mempengaruhi adanya sejarah hukum (history of law) pada sebuah masyarakat (sociality),pemerintahan (government) ataupun negara (state) yang tiada lepas dari moralitas,nurani serta etika (adat) yang ada pada sebuah masyarakat (pamali) dan manusia.

4.Hukum Objektif

Manusia sebagai mahluk individu ataupun manusia sebagai mahluk sosial adalah pembentuk adanya masyarakat dan individu itu sendiri,individu ataupun sebuah masyarakat adalah sebuah realitas (reality),sebuah realitas atau kenyataan manusia yang terbagi atas dirinya sebagai realitas individual serta dirinya sebagai realitas sosial,realitas individu (individual reality) adalah sebuah kenyatan terkecil (homo centrifugality),sedangkan masyarakat (mahluk sosial) sebagai realitas terbesar (homo centripetality),realitas adalah kisi yang mengobjektivikasikan manusia karena adanya sesuatu yang merupakan hal di luar apa yang merupakan harapan dirinya sebagai individu ataupun masyarakat itu sendiri,adanya kenyataan (objektivikasi),bahwa apa yang merupakan kenyataan individual (realitas mikro) sebagai bukan kenyataan sosial ataupun sebaliknya,bahwa apa yang merupakan harapan indvidual bukan merupakan harapan sosial (masyarakat),hal demikian adalah apa yang kerap kali disebut seorang sosiolog bernama Emile Dukheim sebagai anomia (anomy).

Kondisi anomi (anomia) atau kesenjangan (discontinuity) antara individu (mikro) dengan masyarakat (makro) ataupun kesenjangan antara harapan (subjektivitas) dengan objektivitas (kenyataan),kesenjangan hukum dengan norma (norm),kesenjangan norma (mores) dengan undang-undang (wet) atau hukum (law) dengan undang-undang,atau kesenjangan antara masyarakat dengan pemerintahan adalah sebuah kondisi anomi (gap) sebagaimana kesenjangan dalam diri manusia sendiri yang kerap terjadi pada kesenjangan antara manusia sebagai mahluk individual dengan dirinya sebagai mahluk sosial,yang kerap kali adalah juga kesenjangan antara perasaan (afeksi) dengan pikiran manusia (kognisi) ataupun kesenjangan antara tubuh (body) dengan jiwa manusia (soul),hal ini kemudian menjadi sebuah jarak eksistensialitas manusia (distingtion) antara kesadaran (consiousness) dengan ketidaksadaran manusia (human unconsiousness) dalam setiap sikap yang diambilnya dalam laku kehidupan dirinya dalam dunia keseharian rutinitasnya.

Kenyataan (reality) dalam ranah (discourse) apapun dalam sosiologi adalah sebuah otoritas yang mampu mengobjektivikasikan manusia,menjadikanya anomi (antinomia) dengan setiap utopianitas dalam dirinya yang adalah sebuah harapan (hope) ataupun dikatakan Geeorge Ritzer sebagai suatu subjektivitas manusia (human subjectivity),terutama sebagai suat individualitas yang menempati ruangnya,yaitu ruang sosial (domain publik) dan ruang individu (domain privat),kenyataan menjadi objek ketika kenyataan sebelumnya mengobjektvikasikan manusia sebagai subjek mikro (mahluk individual) ataupun subjek makro (mahluk sosial),kenyataan kemudian menjadi paradigma acu (kontruksi kaji) untuk harapan atas kenyataan yang lain (liyan) dimana subjektivitas (das sollen) dan objektivitas (das sein) berpadu untuk menciptakan harapan (sollen) ataupun kenyatan dinamik (acceleration) yang bukan merupakan kondisi anomi (dispersi,namun sebuah harmoni (equilibrium) dari setiap apa yang merupakan paradoksikalitas dalam penempatan manusia atas setiap ruang (domain),termasuk ruang transendensi (terrestrial) ataupun imanensi manusia (celestrial) pada dirinya (pour soi) atau di luar dirinya (fur mich) sebagai intermediasi (axis) atas apapun,hukum objektif adalah hukum yang tercipta dari suatu realitas baik realitas sosial (makro objektif) ataupun individual (mikro objektif) yang mana keduanya adalah sebuah realitas kemanusiaan (human reality) yang menjadikan adanya hukum bagi manusia sebagai subjek hukum (fiksi hukum) dalam realitasnya diri (individualitas) dan masyarakatnya dalam universalitas manusia.

5.Hukum Mikro Subjektif

Keberadaan individu sebagai eksistensialitas (l’existence) adalah satu realitas (das sein) yang berharap (mikro subjektif),hal tersebut berarti bahwa suatu masyarakat adalah juga merupakan suatu realitas yang juga berharap (makro subjektif),suatu anomi harapan (subjektivitas) terjadi ketika harapan individu dengan harapan masyarakat tidak mengalami suatu sinkronisitas sehingga harmoni sosial (social equilibirium) dengan individual tak dapat terjadi dalam keselarasan hubungan antar manusia,harapan individu kerap kali tidak sesuai dengan hukum kolektif (ius collectiva) yang ada yang merupakan hukum masyarakat (ius socious) yang disepakati bersama dengan individu lain sehingga antara harapan hukum individu dengan masyarakat kembali dihadapkan pada apa yang pernah disebutkan Emile Durkheim sebagai anomisitas (ketidaklarasan),atau hukum yang kerap menjadi sebuah kenyataan sosial (makro subjektif) yang kerap tak laras (sepadan) dengan kenyataan individual (mikro objektif),hal ini berarti bahwa,harapan hukum antara individu dengan masyarakat juga tak sesuai dengan kenyataan hukum antara masyarakat (sosialitas) dengan individu.

Dengan demikian dapat dikatakan kemudian bahwa pada akhirnya hukum masyarakat tak sesuai dengan hukum pemerintahan sehingga negara mengalami anomialisasi fimana hukum negara tak sesuai dengan harapan yang menjadi unsur pembentuk negara (nation contruct),yaitu masyarakat (pranata) dan pemerintahan (institusi),maka kenyataan bahwa adanya ketidaksesuaian antara kenyataan dan harapan di berbagai aras menjadikan adanya hubungan yang tak setara antara pluralitas (kemajemukan) dan singularitas (ketunggalan),hal demikian berakibat terjadinya ketidaklarasan antara manusia sebagai mahluk individual (homo individualis) dengan manusia sebagai mahluk sosial,ketidakharmonisan (anomialitas) antara hubungan perasaan (mantram) dengan pemikiran (tantram) ataupun hubungan tubuh (shakta) dengan jiwa (shakti) yang tak imbang yang mana kemudian kerap memunculkan sebuah tindakan naluriah yang terjadi sebagai respon individu (anti katexis) terhadap stimulus sosial (katexis,berupa tindakan naluriah semata (instinktif) ketimbang sebuah kesadaran ataupun sebuah ketidaksadaran atas respon perasaan (affectional respond) ataupun pikiran dirinya yang terkait juga pada setiap masalah menyangkut jiwa dan tubuh manusia.

Hal ini lalu dapat juga dipastikan akhirnya mempengaruhi tubuh (matter) serta jiwa manusia (spirit) sebagai sebuah keberadaan potensial manusia (elan vital) dalam berkehendak ataupun bertindak melalui segala pertimbangan yang mana setiap potensi eksistensilitas manusia (talent) melalui indranya (eksistensialitasnya) tak berfungsi efisien karena adanya disharmoni (disorder) antara manusia ke luar dirinya (an sich) dengan manusia ke dalam dirinya (fur mich),dimana manusia kemudian dikondisikan menjadi “homo anomic” ketimbang “homo harmonium” sebagai sebuah akibat (kausa) dari sebuah sistematika sosial nan acak (disorder thing) ataupun karena sebuah akibat strukturasi (keberjenjangan) yang disharmoni antara apa yang dikehendaki (sollen) dengan apa yang terjadi sein) dalam individu ataupun pada suatu masyarakat (society) dimana pemerintahan (government) serta negara (state) terkait atas keberadaan eksistensilitas warga negara (citizen) yang adalah juga individu (manusia) yang tak lepas dari hukum Tuhan (ius theia) ataupun hukum alam (ius naturaliae) yang menjadikan manusia memiliki harapan hukum (subjektivikasi hukum) dalam individualitasnya (mikro subjektif) sebagai mahluk hukum (homo iuris) yang tak lepas dari keberadaan suatu masyarakat dan sisi lain diri manusia (shadow), selain sosialitasnya,yaitu sebagai mahluk individual (selbs) yang tak lepas dari keberadaan sejarah (historisitas) ataupun hukum yang ada pada dirinya sebagai sebuah kenyataan (sein) adanya hukum.

6.Hukum Makro Subjektif

Sebagaimana halnya individu,masyarakat sebagai kumpulan dari individu adalah kumpulan individu dengan segala harapanya,maka dapat dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan harapan individu,pada umumnya harapan sebuah masyarakat identik dengan kebersamaan yang disepakati setiap bagian dalam masyarakat yang membentuk adanya masyarakat,setiap harapan kemudian dijadikan sarana pembentuk adanya kesepakatan sosial (kontrak social )untuk mewjudkan sebuah kenyataan bersama dari adanya harapan dari suatu kolektivitas dalam sebuah masyarakat,setiap apapun yang menyangkut harapan dalam masyarakat adalah harapan yang kerap adalah sebuah bagian dari struktur sosial ataupun sistem social yang terdiri dari individu,keluarga,kelompok sosial dengan segala multiplisitas yang ada dalam sebuah masyarakat,bahwa setiap harapan manusia adalah unik adanya,maka kemudian setiap keunikan dipersamakan dalam sebuah kesepakatan ataupun suatu kontrak bersama (consensus) yang kemudian menjadikan adanya sebuah norma sebagai patokan hidup dalam mewujudkan sebuah harapan sosial menjadi sebuah kenyatan sosial,adanya harapan sosial adalah juga diawali oleh sebuah kenyataan sosial bahwa terdapat harapan pada sebuah masyarakat ataupun subtitusi dari adanya suatu masyarakat.

Harapan dan kenyataan sosial kemudian ditengahi oleh norma yang menengahi hubungan antara harapan dengan kenyataan yang ada pada sebuah masyarakat,adanya harapan individu (mikro subjektif) kemudian disepakati untuk menjadi harapan masyarakat (makro subjektif) yang kemudian hal ini diharapkan menjadikan adanya sinkronisitas antara kenyatan individual menjadi suatu kenyataan bersama (kolektif) atau menjadi suatu kenyataan dengan mendasarkan diuri dari suatu kesepakan sosial (kontrak social) yang kemudian menjadi kerangka aturan kebersamaan yang kerap juga disebut sebagai norma sosial,norma sosial terbentuk dari adanya sejarah dari suatu masyarakat yang menyangkut kebersamaan individualitas yang membentuk adanya sebuah pola budaya ataupun pola sosial yang dianggap sebagai sebuah konsensus sosial yang terbentuk dari sebuah kebudayaan ataupun sejarah untuk sebuah kemajuan bersama dalam mencapai sebuah harmoni ataupun suatu keteraturan baik sebagai sebuah kenyataan sosial ataupun masih merupakan suatu harapan sosial dari suatu masyarakat,terutama mencakup kebersamaan harmonial antara hubungan antar individu dengan berbagai kontruksi pembentuk bagi adanya sebuah masyarakat sebagaimana yang diharapkan untuk menjadi sebuah kenyatan sosial.

7.Hukum Mikro Objektif

Adalah merupakan kenyataan individual (mikro objektif) ketika individu dihadapkan pada dirinya sendiri sebagai individu ataupun sebagai mahluk sosial,individu adalah kenyataan itu sendiri yang memiliki suatu otoritas bagi dirinya sendiri untuk menjadi individual ataupun menjadi mahluk sosial dengan segala keberpenuhan (totality) dari status dirinya tersebut,individu memiliki kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri ataupun larut dalam masyarakatnya,individu adalah otoritas yang memiliki hak asasi (human right) untuk memilih status manusia pada dirinya,dengan kata lain posisi manusia sebagai mahluk individual adalah sebuah kenyataan yang memiliki suatu kekuatan hukum karena individu adalah juga merupakan mahluk hokum karena memiliki hak atas segala bentuk individualitas (individual form) yang ada pada dirinya sendiri sebagai manusia,keberadaan manusia sebagai mahluk sosial menghadapkan dirinya pada kewajiban dirinya atas segala tuntutan sosial atas individualitas yang ada dalam dirinya,kompromisitas (dialog) menuntut mahluk sosial untuk mengorbankan individualitasnya yang memiliki kebebasan karena hak asasi yang dimilikinya sebagai manusia,konfliktualitas kerap dianggap sebuah sikap yang anti-adaptasi (mal-adaptation) ataupun bahkan menjadi sebuah keterasingan (alienation) bagi individu dalam suatu ruang lingkup sosial (social scope) dalam suatu masyarakat.

Setiap suasana polemik (konfliktual) kerap menjadikan individualitas manusia lebih menonjol dari sisi sosialitas yang ada pada dirinya,hal ini kemudian menjadi sebuah awal dari menonolnya sisi individualitas ketimbang sosialitas manusia dalam dirinya ataupun dalam sebuah masyarakat,individualitas kerap menimbulkan sebuah fenomena sosial bagi individu,keluarga ataupun kelompok sosial untuk menghadapi sikap dirinya dalam menghadapi atau mencermati setiap interakasi yang ada dalam ruang lingkup sosialnya,individualitas sebagai bagian dari sebuah kompetensi manusia yang dilindungi oleh haknya yang asasi adalah sebuah otoritas yang pada dasarnya memiliki suatu kebebasan,meskipun hal ini kerap dihadapkan pada benturan antar kebebasan (eksistensialitas),benturan antar kebebasan (class of freedom) kerap mesti dihadapi dengan sebuah iklim dialogial demi sebuah interaksi yang tak hanya semata adaptatif namun adalah juga harmoni dan tak menimbulkan anomi antara hubungan individu dengan masyarakat atau sebaliknya,benturan antara setiap aspek sosiologis (anomi) kerap menimbulkan arogansi dalam diri individu atau malahan sebaliknya arogansi masyarakat (kolektivitas) terhadap individu.

Adanya keterasingan (enfremdung) adalah suatu kemungkinan bagi individu ketika dihadapkan pada sebuah kekuatan kolektif (power of mass) yang menjadikan hubungan dirinya dengan kemajemukan menjadi timpang,kuasa kolektif baik dalam keluarga,kelompok sosial atau juga masyarakat juga menjadikan fenomena urbanitas (urban phenomena) yang terjadi tak hanya sebatas individu belaka,namun juga keluarga,kelompok sosial atau masyarakat itu sendiri karena adanya perbenturan antara harapan (utopia) dan kenyataan (das sein) yang tak terjadi pada sebatas individualitas,namun juga keluarga,kelompok sosial dan masyarakat,terutama ketika dihadapkan pada hubungan norma (adat) dengan hokum (perundangan) yang kemudian menjadikan adanya hubungan anomik (anomial) antara komunitas sosial (sistem sosial) politik dengan komunitas politis (sistem politik) dalam setiap penempatan ideologi (sein) dan utopianitas (hope) dalam suatu hubungan struktural nan setara antara manusia dengan individu baik sebagai bagian dari suatu pemerintahan (government) ataupun sebagai bagian dari suatu masyarakat (society) yang menjadikan adanya sebuah negara ada,terutama karena adanya hukum alamiah (natural law) atas setiap dinamika hukum manusia (human law) pada umumnya dalam sebuah laju dari suatu peradaban manusia.

8.Hukum Makro Objektif

Hukum adalah kenyatan sosial masyarakat,merupakan hukum yang tercipta yang diawali sebuah KEHENDAK,suatu Kehendak (KEHENDAK) yang kemudian diacu alam sebagai hukum Tuhan bagi keberlangsungan alam itu sendiri,hukum Tuhan merupakan sebuah bagian dari legitimasi natural (alamiah),sebuah legitimasi alam atas “Kehendak” yang kemudian dikehendaki untuk menjadi bagian ataupun acuan dari hukum alam,yang mana kemudian hukum alam tersebut diacu oleh hukum lain yang ada di bawah struktur hukum alam yang ada dan mendapat pengesahan dari setiap bagian dari alam sebagai suatu kesatuan dengan hukum alam ataupun hukum Tuhan sebagai sebuah “kehendak”,hukum manusia adalah hukum yang berlaku tak hanya sebatas manusia sebagai mahluk individual semata,namun juga status manusia sebagai mahluk sosial,meskipun individu merupakan inti (mikro) dari adanya setiap struktur (lapisan) pembentuk masyarakat,namun keberadaan masyarakat adalah sebuah kekuatan dalam menciptakan hukum yang berlaku bagi individu sebagai bagian dari masyarakatnya dan sisi sosialitas pada dirinya.

Keunikan individu (ideosinkretisitas) dalam setiap aras sosial kemudian dihadapkan pada ruang serta waktu dimana sinkronisitas antar individu dalam setiap unsur pembentuk masyarakat dihadapkan pada sebuah kebersamaan kehidupan (being for the others) antara berbagai keunikan yang ada pada individu,keluarga serta kelompok sosial (shaft) dan masyarakat,adanya masyarakat adalah sebuah akibat dari kebutuhan interaksi manusia sebagai mahluk individual yang tak lepas dari sisi lain dari sosialitasnya sebagai mahluk sosial,bahwa manusia sebagian besar tak mungkin hidup sepenuhnya dalam individualitasnya adalah salah satu sebab adanya sebuah masyarakat sebagai sekumpulan individu (crowl) yang menempati sebuah ruang (pada) ataupun waktu (kala) tertentu,masyarakat identik dengan berbagai batasan sosial (socio-liminal) yang membatasi kebebasan dari masing-masing individu sebagai sebuah prosedur dalam menempati sebuah ruang interaksional (interactional sphere) untuk lari dari kebebasan dirinya.

Interaksi antar individu kemudian memungkinkan individu untuk hidup dengan yang liyan dan menjadi tak hanya dalam individualitasnya semata,namun juga hidup dengan yang liyan (others) sebagai mahluk sosial,status manusia sebagai mahluk sosial menjadi pangkal dari adanya penempatan individu sebagai pembentuk utama dari adanya suatu masyarakat,individu adalah pembentuk adanya kemajemukan (multiplisitas) ataupun sebuah kolektivitas,suatu strukturalitas yang diawali oleh adanya individu yang dalam interaksinya kemudian menjadikan adanya keluarga tak hanya sebagai institusi (struktur),namun juga adalah sebuah pranata (system) dan merupakan bagian dari lapisan setiap sistem sosial (social system) yang lain selain masyarakat itu sendiri,yaitu kelompok sosial dalam sebuah masyarakat dan segala apapun yang ada di alam karena sebuah Kehendak.

Masyarakat sebagai unsur terbesar (makro) yang memberi legitimasi atas keberadaan individu dalam adaptasi dan interaksinya dengan yang liyan (lain) menjadikan munculnya berbagai ideologi dan norma-norma sosial (mores) yang memberikan identitas tak hanya pada individu semata,namun juga sebuah keluarga (familiaritas) dan kelompok sosial (social group),tak terkecuali adalah masyarakat itu sendiri,hukum ada karena adanya keunikan manusia dengan segala perbedaan makna (meaning) serta nilai eksistensialitasnya (value) menyangkut moralitas dan nurani yang membentuk adanya ruang etika individu dalam setiap jenjang kemasyarakatan (aras sosial) pada berbagai tingkat pembentuk dari adanya suatu masyarakat,setiap perbedaan dari keunikan setiap unsur pembentuk masyarakat (difference),kemudian terumuskan melalui adanya masyarakat dengan berbagai perbedaan parameter sosial (socio-parametric) dan individual yang dirangkum dalam sebuah kesepakatan bersama,yang mana kemudian hal ini disebutkan oleh Thomas Hobbes sebagai sebuah kontrak sosial (social contract) yang memunculkan adanya norma (mores) ataupun hukum (ius) dalam sebuah masyarakat yang menjadikan adanya sebuah pemerintahan (politheia) ataupun sebuah negara.

Hukum ada karena adanya hukum Tuhan (ius theia) dan hukum alam (ius naturalis),maka dapat dikatakan adanya segala bentuk hukum diawali oleh adanya tujuan keseimbangan atau kesetaraan (equalitas) antara hukum Tuhan,hukum alam serta hukum manusia sebagai motif utama (leitmotif),adanya berbagai bentuk hukum adalah sebuah kenyatan struktural (structural reality) yang diadakan Tuhan (AUM) atas segala apapun yang berada dalam struktur kekuasaan diriNya,adanya masyarakat terjadi karena kebutuhan individualitas manusia (human needs) sebagai mahluk sosial yang membutuhkan interaksi bagi dinamika dirinya sebagai individu (entitas aktual),individu dan masyarakat adalah kesatuan humanitas dimana individu ada karena adanya sebuah masyarakat ataupun sebaliknya,sebagaimana adanya kebudayaan (connaissance) karena adanya peradaban (savoir) atau sebaliknya,maka sebuah masyarakat kemudian ada karena adanya sebuah pemerintahan (krasi) ,sebagaimana juga halnya bahwa segala apapun ada karena adanya pasangan (paradoksikalitas) dari dirinya,maka kenyataan (objectivity) dihadapkan pada harapan,kenyataan (sein), adanya norma sosial (masyarakat) ataupun hukum positif (pemerintahan) adalah sebuah realitas teratur (order object) yang diakibatkan adanya harmoni pada hukum alam (kosmos).

Hukum manusia kemudian menjadi produk strukturalitas mimesis (imago mimetis) dari adanya struktur di atasnya,termasuk masyarakat sebagai produk strukturalitas sejarah (bricolage) dari adanya manusia sebagai mahluk sosial dengan segala keunikan pada dirinya, (ideosinkretisitas),yang pada dasarnya adalah sebuah kebebasan individual (individual freedom) dan kemudian terbatasi oleh kebutuhan manusia akan interaksi dirinya dengan yang liyan (others),terutama menyangkut dirinya sebagai mahluk sosial (other),masyarakat (society) ada ketika kebebasan individualitas manusia (nibbana) terkikis oleh keberadaan dirinya sebagai mahluk individual,keunikan dan kebebasan manusia (human freedom) kemudian dibatasi dan disetarakan dengan keberadaan manusia yang lain sebagai sebuah bagian dari kebersamaan persepsi akan adanya Tuhan dan alam yang menjadi bagian dari keberadaan manusia.

Masyarakat ada dari individu sebagai mahluk sosial dimana berbagai keunikan dan kebebasan manusia dipersamakan dan dibatasi oleh sebuah kesepakatan bersama (concursus) demi sebuah harmoni yang tak hanya menyangkut keberadaan manusia sebagai mahluk individual atau mahluk sosial semata,namun juga mencakup aspek naturalitas dan ke-Tuhanan yang tak lepas dari manusia sebagai sebuah kemelekatan (upadana) dengan subjektivitas dirinya (existencial competence) sebagai mahluk yang diciptakan melalui sebuah “Kehendak” dan menjadi bagian dari keberadaan setiap cipta (creatio determinam) atas sebuah kekuasaan yang mengawali adanya segala bentuk strukturalitas dan sistem yang ada dalam setiap pendekatan ilmu pengetahuan (epistemolologi),masyarakat ada ketika kebebasan dan keunikan individu mengalami pengikisan (regression) dan ketiadaan bagi yang lain demi adanya sebuah harmoni sosial (equilibrialisasi kolektif) dengan harmoni individual manusia (keselarasan humanitas) pada dirinya (implosion) dan di luar dirinya (centrifugality),terutama sebagai pusat (axis) segala sesuatu (anthropoid) selain Tuhan (Theia),dirinya (self) dan alam (phusis).